CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Selasa, 17 Maret 2009

HoBy mAngA jApHaNeSe


Foto ini adalah presentasi Anzu Hizawa komikus dari Indonesia. Dari kanan, PARK So Hee, yang berambut kuning (Korea Selatan), Anzu Hizawa, Watase Yuu, yang mengenakan kimono (Jepang), Tina Francisco (Filipina), FOO Swee Chin (Singapura)
Pada tanggal 21 dan 22 Februari 2004, Japan Foundation menyelenggarakan acara simposium "Asia in Comics 2004: Asia Joryu Manga no Sekai (Dunia Komik Wanita di Asia)" bertempat di Tokyo. Sejak tahun 2001, Japan Foundation telah menyelenggarakan Forum "Asia in Comics" dan sekarang telah memasuki tahun ke-4. Kalau pada tahun lalu tema yang diangkat adalah Komik Tiongkok, maka kali ini fokusnya adalah diskusi keadaan komik wanita di 5 negara, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Filipina. Keikutsertaan pembicara dari Indonesia untuk simposium ini, kali ini pertama kali.Sebagai narasumber pada hari pertama adalah dari bagian redaksi. Dari Indonesia Ratna Sari (Kepala staf Redaksi Elex Media Komputindo), dari Jepang Yamauchi Yasuko (Wakil Kepala staf Redaksi Penerbit Shogakukan), dari Korea selatan KIM Young Joong (Kepala staf Redaksi Penerbit Seoul Cultural Publisher), dari Filipina Terry Bagalso (Kepala Staf Redaksi Penerbit Atlas). Selain itu juga ada SAJIMA Akiko (Profesor Universitas Fukuoka Jogakuin) yang meneliti komik Korea Selatan.
Ratna Sari mempresentasikan sejarah perkembangan Komik Indonesia secara singkat. Redaksi dari Korea, yang negaranya memiliki prasarana internet paling maju di Asia, melaporkan tentang komik online. Redaksi Jepang menjelaskan sistem produksi komik Jepang, yaitu dengan mengadakan kerjasama yang sangat erat antara komikus dan pihak redaksi.Hari kedua, pembicaranya adalah para komikus dari 5 negara. Dari Indonesia Anzu Hizawa, dari Jepang Watase Yuu, dari Korea Selatan PARK So Hee, dari Filipina Tina Francisco dan dari Singapura FOO Swee Chin. Komik yang sangat menarik, dibuat oleh komikus Korea, PARK So Hee yang rambutnya diwarnai kuning, berjudul "Kung" (Istana Raja). Bercerita tentang seorang gadis yang pacarnya seorang raja Dinasti Korea. Tentu saja itu hanya fiksi karena sekarang di Korea sudah tidak ada kerajaan. Dinasti Korea telah runtuh sejak masa penjajahan Jepang. Gambarnya bagus sekali. PARK merupakan lulusan Jurusan Komik Kongju Culture College. Dia mengatakan dengan suara yang manis bahwa di Korea Selatan ada 39 universitas yang punya jurusan komik (di Jepang ada banyak akademi komik, tetapi universitas yang punya jurusan komik hanya 1 atau 2 saja). Presentasi Anzu Hizawa, menurut saya cukup menarik. Menurutnya pembaca komik di Indonesia 80% adalah anak perempuan, jadi komik Indonesia yang terbit kebanyakan untuk anak perempuan. Ketika ditanya, "kalau begitu, anak laki-laki berminat pada apa?" jawabannya Playstation. Anzu juga mengungkapkan kalau pembaca Indonesia kurang menghargai komik lokal. Hal itu bertolak belakang dengan keadaan Jepang. SAJIMA Akiko (Profesor Universitas Fukuoka Jogakuin), yang meneliti komik Korea Selatan, mencatat bahwa di Korea Selatan respon pembaca komik terhadap komik lokal maupun komik Jepang dan Taiwan cukup baik. Hal itu bermanfaat untuk perkembangan komik Korea. Sebaliknya, di Jepang pembaca komik masih sedikit kesempatannya untuk membaca komik luar negeri. Sayangnya karena waktu yang sangat terbatas, diskusinya terasa kurang dalam. Tetapi di tempat simposium dipamerkan buku karya komikus dari 5 negara ini. Yang mengejutkan saya adalah kemajuan mutu gambar komikus Indonesia. Waktu saya tinggal di Yogya, tahun 1995 sampai 1997, gambar komik Indonesia saat itu jelek dan jauh sekali dibanding komik Jepang. Tetapi sekarang, dilihat dari sudut gambar, karya Anzu Hizawa, Shinju Arisa dan Dyotami Febriani sudah mencapai standar Jepang dan Korea Selatan. Gambar Shinju Arisa sangat mirip dengan gambar CLAMP, mungkin dia bisa langsung masuk tim CLAMP. Untuk mencapai standar sekarang, komikus Jepang perlu waktu 40 tahun, dan komikus Korea Selatan 20 tahun. Tapi bisa terkejar oleh komikus Indonesia hanya dalam 5 tahun saja. Komikus Jepang WATASE Yuu dalam simposium ini berkata,"Komikus luar negeri yang hadir di forum ini gambarnya sangat cerdas. Maka kami (komikus Jepang) tidak boleh kalah." dan ini bukan basa-basi.Tetapi jika dilihat dari sudut cerita, bagaimana komik Indonesia? Pada hari pertama simposium, ketika ditanya tentang masalah sensor, Ratna Sari menjawab, "Sekarang di Indonesia tidak ada sensor oleh pemerintah, tetapi Elex Media punya aturan sendiri untuk tidak merusak moral. " Pada hari kedua, ketika sesi tanya jawab, saya bertanya kepada Ratna Sari,"Kemarin Anda mengatakan bahwa jangan merusak moral. Tetapi sejarah komik wanita Jepang adalah sejarah yang merusak "moral". Pada pertengahan tahun 1970-an komik wanita Jepang telah mencapai puncak. Hal ini disebabkan tantangan komikus wanita Jepang terhadap "moral" yang memasung kemajuan komikus wanita. Demi kemajuan komik, bukankah seharusnya pihak redaksi mendukung perlawanan ini ? " Jawaban Ratna Sari adalah sebagai berikut, "Komik Indonesia dilihat para orang tua sebagai barang yang tidak mendidik dan berpengaruh tidak baik untuk anak-anak mereka. Jadi redaksi dan komikus Indonesia diharuskan menjaga moral untuk menghindari kritik. "Memang saya memahami maksud Ratna Sari, tapi pendapat tentang komik adalah tidak mendidik oleh orang tua sebenarnya sama dengan di Jepang. Di Jepang sebelum akhir 1960-an komik dianggap sebagai bacaan anak-anak. Saat itu pada dasarnya di Jepang orang tua tidak suka anaknya membaca komik.Pada mulanya di Jepang, komik adalah bacaan untuk anak-anak. Pada tahun 1959, mulai diterbitkan dua majalah komik mingguan untuk anak laki-laki, yaitu Shonen Magazine dan Shonen Sunday. Saat itu kebudayaan hiburan untuk anak adalah komik saja. Belum berkembang anime, dan tentu saja belum ada computer game. Hampir 10 tahun kemudian, majalah komik untuk remaja mulai terbit, misalnya Manga Action (1967), Young Comic (1967), Play Comic (1968), dan Big Comic (1967). Pembaca komik yang usianya 10 tahun pada 1959, telah berusia kurang lebih 20 tahun sehingga mereka yang sudah remaja mau membaca komik yang cocok dengan selera mereka. Ciri-ciri khusus gambar komik genre baru ini adalah realisme. Gaya realistis disebut "gegiga" (Geki artinya drama, Ga artinya gambar) mendominasi komik Jepang. Cerita juga berubah menjadi realis dan serius. Tentu saja ceritanya berlawanan dengan moral yang berlaku masa itu. Kebetulan saat itu, sekitar akhir 1960-an gerakan mahasiswa menjadi marak sekali. Saat itu juga generasi muda mengakibatkan gerakan baru dalam dunia kebudayaan dan kesenian, termasuk dunia komik. Karya MIYAYA Kazuhiko, MASAKI Mori dan KAWAGUCHI Kaiji langsung bertema gerakan politik radikal. Selain itu, majalah komik alternatif COM (sejak 1967, sekarang sudah tidak terbit) dan
GARO (sejak 1964, tahun 2003 berubah jadi majalah online di internet) memuat karya-karya yang kreatif.